Namaku
Laila. Aku manusia yang sangat terkenal. Setiap harinya, aku selalu menjadi
topik perbincangan masyarakat di desa ini. Pembicaraan utama yang menemani
mereka saat menyesap secangkir kopi
bersama keluarga, berbelanja di pasar, bahkan saat memandikan anaknya di kali.
Aku
bukan tidak tahu bahwa di luar sana orang sibuk membicarakan ketidakwarasanku. Aku
pernah menangis karena aku merasa hidupku terasing. Aku pernah menjeratkan
leherku pada seutas tali yang aku ikatkan di atap kamar. Aku juga pernah
mencoba menyayatkan potongan kaca pada pergelangan tanganku. Namun, sepertinya
Tuhan masih menyayangiku. Dia masih memberiku kesempatan untuk menghirup udara
kehidupannya ini, yang sungguh sangat memuakkan. Tetapi semakin lama aku justru
semakin sadar, bahkan aku semakin tidak peduli dengan cemoohan orang di luar
sana. Aku lantas memikirkan akan satu hal, Tahu
apa mereka tentang hidupku?
Keluargaku
sendiri, yang seharusnya menjadi pelipur segala laraku, tempat aku dapat
meminta perlindungan dari mereka yang melukai hatiku, mendadak menjauhiku
dengan teratur. Mereka sudah sangat malu untuk mengakuiku sebagai keluarga.
Mereka sibuk memikirkan bagaimana cara menyumpal mulut orang yang mencemoohku tanpa
pernah sedikitpun berusaha untuk mengerti perasaanku yang sebenarnya. Mereka terlalu
munafik kalau aku pikir.
***************
Malam
ini adalah malam yang sudah lama aku nantikan. Malam dimana aku merasakan
segumpal kebahagiaan baru yang dia coba ukir di relung hatiku. Aku bersiap
untuk pergi menemuinya. Aku mematut wajahku agak lama daripada biasanya. Aku
terkikik pelan ketika aku menyadari bahwa wajahku tidak seburuk yang selama ini
aku kira. Lalu aku siap untuk menemuinya malam ini.
Aku
bersenandung lirih saat aku mulai melangkahkan kaki keluar dari rumah. Aku
berjalan berjingkrak-jingkrak tanpa memedulikan tatapan aneh mereka yang sedang
memerhatikanku. Sekali lagi aku bilang aku tidak peduli. Tidak ada yang mampu merusak
suasana hatiku yang sedang berbunga-bunga ini. Biarlah mereka lakukan apa yang
ingin lakukan kepadaku. Toh ini bukan pertama kalinya kan?
Hari
ini tepat sebulan yang lalu aku terakhir bertemu dengannya. Dalam imajiku pada
waktu itu, dia begitu indah, nyata dan terasa dekat sekali sehingga dengan
mudah dapat aku rengkuh. Aku memandanginya tanpa berkedip. Aku begitu terpesona
pada sosoknya yang gagah dan bercahaya. Seketika itu aku langsung jatuh cinta
padanya. Dia yang sabar mendengarkan ceritaku, dia yang selalu sabar
mendengarkan keluh kesahku tentang mereka -orang yang selalu mencemoohku- dan
dia yang sebenarnya begitu indah bila harus disandingkan dengan aku -orang yang
sudah hampir kehilangan kewarasannya.
Aku
mempercepat langkahku untuk pergi menemuinya. Aku tidak berjalan dengan
berjingkrak lagi. Akupun tidak menyenandungkan senandung kecilku yang tadi.
Yang ada hanya nafas yang kian menderu dan dada yang bergetar seiring langkahku
yang semakin mendekati tempat yang aku tuju. Aku rasa aku sudah benar-benar
gila sekarang.
Aku
sampai di tepi sungai, tempat aku akan menemuinya malam ini. Tepat sama dengan
tempat aku bertemu dengannya untuk pertama kali beberapa bulan yang lalu. Aku
melihatnya sudah menungguku dengan tidak sabar. Aku mengembangkan senyumku
untuk menetralkan perasaanku yang sesungguhnya sangat gugup. Aku berjalan
mendekatinya dan mulai duduk di hadapannya. Aku melihat dia tersenyum kepadaku.
Aku merasa bahwa aku bisa membeku saking terpesonanya. Sungguh aku merasa dia
begitu indah malam ini.
Aku
memberanikan diri untuk menyapanya, “selamat malam,” ucapku terbata. Lihat, dia
masih saja tersenyum. Senyum yang selalu berhasil membuatku terpukau. Senyum
yang sanggup membuatku melukiskan warna-warna cerah pada kanvasku yang selama
ini kelam. Senyum yang sanggup membuat dadaku berdesir dan sesak. Senyum yang
mampu membawaku terbang melintasi samudra dan memetik gugusan bintang di
angkasa untuk membuat semesta iri akan kebahagiaanku.
Aku
mulai mencoba mengajaknya masuk ke dalam duniaku lewat sentuhan-sentuhan diksi
yang terlontar dari mulutku. Aku membicarakan impian-impian besarku yang selama
ini dianggap gila oleh kebanyakan orang. Aku menyukai saat-saat seperti ini.
Saat dia mulai memasang wajah serius
untuk mendengarkan celotehanku. Aku akan merasakan tatapannya begitu
lembut menusuk tembok pertahananku. Aku kembali tersenyum. Tersenyum untuk makna
yang aku sembunyikan.
“Ternyata
aku begitu merindukanmu sebulan ini” ucapku tanpa bisa aku kendalikan. Dia
kembali tersenyum. Aku tahu makna senyum itu. Dia juga sama rindunya dengan
diriku.
Aku
kembali menciptakan cerita-cerita indah pemanis perbincanganku dengannya malam ini.
Aku tidak ingin malam ini cepat berakhir. Aku ingin terus bersamanya, hanya
bersamanya.
“Engkau
tahu kan, alasan mereka membicarakanku serta mencemoohku? Aku dianggap gila
setelah aku mengenalmu. Padahal jelas-jelas mereka iri karena hidup mereka
tidak sebahagia saat aku bersamamu. Iya kan?” tanyaku retoris, dan lagi-lagi
aku hanya mendapat sebuah senyum simpul sebagai jawabannya. Ah, dia ini memang
hobi sekali membuatku terpesona.
Aku
membelainya. Memijat keningnya yang siapa tahu aja saja sedang merasa pening.
Aku menikmati setiap detik waktuku yang tersusun bersamanya. Gemericik air
sungai dan suara jangkrik yang mengerik menghantarkanku pada kenyamanan yang
tak terhingga. Semakin lekat aku memandanginya, cahayanya yang bulat utuh, semakin
membuat hatiku tidak bisa berdusta. Aku mencintaimu, bulan purnamaku.
Tiba-tiba
..
“Hei,
lihat si Laila. Masih saja dia berbicara dengan bulan. Dasar orang gila.
Hahahaha,” teriak seseorang yang tiba-tiba lewat di belakangku.
Aku
berusaha tidak mendengar. Aku masih saja berpura-pura sibuk melukiskan garis
wajahnya di udara. Melukis cintaku, yang mereka sebut cinta yang maya. Aku
bergumam pelan, tahu apa mereka soal cinta? Ketika orang itu mulai melangkah
pergi, aku mulai merasa bahwa tanganku terkepal geram. Aku hanya ingin mencintai
apa yang harus aku cintai. Mencintai dia yang mencintaiku dan tak acuh terhadap
dia yang tidak mencintaiku. Aku menyadari sepenuhnya, bahwa aku semakin jatuh
ke dalam apa yang mereka sebut ketidakwarasan padaku. Hingga akhirnya aku terjerat
dalam pusaran cintanya. Tidak beranjak, tidak pula dapat berdiri. Cintanya
mengikatku secara permanen. Akan kembali aku katakan pada dunia bahwa aku sama
sekali tidak peduli dengan mereka yang menertawakanku di sini. Dengannya, aku peduli
akan hidupku. Dengannya, aku ingin hidup lebih lama lagi. Dengannya, aku utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar