Jumat, 31 Oktober 2014

Ketidakwarasan Laila



Namaku Laila. Aku manusia yang sangat terkenal. Setiap harinya, aku selalu menjadi topik perbincangan masyarakat di desa ini. Pembicaraan utama yang menemani mereka saat menyesap  secangkir kopi bersama keluarga, berbelanja di pasar, bahkan saat memandikan anaknya di kali.
Aku bukan tidak tahu bahwa di luar sana orang sibuk membicarakan ketidakwarasanku. Aku pernah menangis karena aku merasa hidupku terasing. Aku pernah menjeratkan leherku pada seutas tali yang aku ikatkan di atap kamar. Aku juga pernah mencoba menyayatkan potongan kaca pada pergelangan tanganku. Namun, sepertinya Tuhan masih menyayangiku. Dia masih memberiku kesempatan untuk menghirup udara kehidupannya ini, yang sungguh sangat memuakkan. Tetapi semakin lama aku justru semakin sadar, bahkan aku semakin tidak peduli dengan cemoohan orang di luar sana. Aku lantas memikirkan akan satu hal, Tahu apa mereka tentang hidupku?
Keluargaku sendiri, yang seharusnya menjadi pelipur segala laraku, tempat aku dapat meminta perlindungan dari mereka yang melukai hatiku, mendadak menjauhiku dengan teratur. Mereka sudah sangat malu untuk mengakuiku sebagai keluarga. Mereka sibuk memikirkan bagaimana cara menyumpal mulut orang yang mencemoohku tanpa pernah sedikitpun berusaha untuk mengerti  perasaanku yang sebenarnya. Mereka terlalu munafik kalau aku pikir.
***************
Malam ini adalah malam yang sudah lama aku nantikan. Malam dimana aku merasakan segumpal kebahagiaan baru yang dia coba ukir di relung hatiku. Aku bersiap untuk pergi menemuinya. Aku mematut wajahku agak lama daripada biasanya. Aku terkikik pelan ketika aku menyadari bahwa wajahku tidak seburuk yang selama ini aku kira. Lalu aku siap untuk menemuinya malam ini.
Aku bersenandung lirih saat aku mulai melangkahkan kaki keluar dari rumah. Aku berjalan berjingkrak-jingkrak tanpa memedulikan tatapan aneh mereka yang sedang memerhatikanku. Sekali lagi aku bilang aku tidak peduli. Tidak ada yang mampu merusak suasana hatiku yang sedang berbunga-bunga ini. Biarlah mereka lakukan apa yang ingin lakukan kepadaku. Toh ini bukan pertama kalinya kan?
Hari ini tepat sebulan yang lalu aku terakhir bertemu dengannya. Dalam imajiku pada waktu itu, dia begitu indah, nyata dan terasa dekat sekali sehingga dengan mudah dapat aku rengkuh. Aku memandanginya tanpa berkedip. Aku begitu terpesona pada sosoknya yang gagah dan bercahaya. Seketika itu aku langsung jatuh cinta padanya. Dia yang sabar mendengarkan ceritaku, dia yang selalu sabar mendengarkan keluh kesahku tentang mereka -orang yang selalu mencemoohku- dan dia yang sebenarnya begitu indah bila harus disandingkan dengan aku -orang yang sudah hampir kehilangan kewarasannya.
Aku mempercepat langkahku untuk pergi menemuinya. Aku tidak berjalan dengan berjingkrak lagi. Akupun tidak menyenandungkan senandung kecilku yang tadi. Yang ada hanya nafas yang kian menderu dan dada yang bergetar seiring langkahku yang semakin mendekati tempat yang aku tuju. Aku rasa aku sudah benar-benar gila sekarang.
Aku sampai di tepi sungai, tempat aku akan menemuinya malam ini. Tepat sama dengan tempat aku bertemu dengannya untuk pertama kali beberapa bulan yang lalu. Aku melihatnya sudah menungguku dengan tidak sabar. Aku mengembangkan senyumku untuk menetralkan perasaanku yang sesungguhnya sangat gugup. Aku berjalan mendekatinya dan mulai duduk di hadapannya. Aku melihat dia tersenyum kepadaku. Aku merasa bahwa aku bisa membeku saking terpesonanya. Sungguh aku merasa dia begitu indah malam ini.
Aku memberanikan diri untuk menyapanya, “selamat malam,” ucapku terbata. Lihat, dia masih saja tersenyum. Senyum yang selalu berhasil membuatku terpukau. Senyum yang sanggup membuatku melukiskan warna-warna cerah pada kanvasku yang selama ini kelam. Senyum yang sanggup membuat dadaku berdesir dan sesak. Senyum yang mampu membawaku terbang melintasi samudra dan memetik gugusan bintang di angkasa untuk membuat semesta iri akan kebahagiaanku.
Aku mulai mencoba mengajaknya masuk ke dalam duniaku lewat sentuhan-sentuhan diksi yang terlontar dari mulutku. Aku membicarakan impian-impian besarku yang selama ini dianggap gila oleh kebanyakan orang. Aku menyukai saat-saat seperti ini. Saat dia mulai memasang wajah serius  untuk mendengarkan celotehanku. Aku akan merasakan tatapannya begitu lembut menusuk tembok pertahananku. Aku kembali tersenyum. Tersenyum untuk makna yang aku sembunyikan.
“Ternyata aku begitu merindukanmu sebulan ini” ucapku tanpa bisa aku kendalikan. Dia kembali tersenyum. Aku tahu makna senyum itu. Dia juga sama rindunya dengan diriku.
Aku kembali menciptakan cerita-cerita indah pemanis perbincanganku dengannya malam ini. Aku tidak ingin malam ini cepat berakhir. Aku ingin terus bersamanya, hanya bersamanya.
“Engkau tahu kan, alasan mereka membicarakanku serta mencemoohku? Aku dianggap gila setelah aku mengenalmu. Padahal jelas-jelas mereka iri karena hidup mereka tidak sebahagia saat aku bersamamu. Iya kan?” tanyaku retoris, dan lagi-lagi aku hanya mendapat sebuah senyum simpul sebagai jawabannya. Ah, dia ini memang hobi sekali membuatku terpesona.
Aku membelainya. Memijat keningnya yang siapa tahu aja saja sedang merasa pening. Aku menikmati setiap detik waktuku yang tersusun bersamanya. Gemericik air sungai dan suara jangkrik yang mengerik menghantarkanku pada kenyamanan yang tak terhingga. Semakin lekat aku memandanginya, cahayanya yang bulat utuh, semakin membuat hatiku tidak bisa berdusta. Aku mencintaimu, bulan purnamaku.
Tiba-tiba ..
“Hei, lihat si Laila. Masih saja dia berbicara dengan bulan. Dasar orang gila. Hahahaha,” teriak seseorang yang tiba-tiba lewat di belakangku.
Aku berusaha tidak mendengar. Aku masih saja berpura-pura sibuk melukiskan garis wajahnya di udara. Melukis cintaku, yang mereka sebut cinta yang maya. Aku bergumam pelan, tahu apa mereka soal cinta? Ketika orang itu mulai melangkah pergi, aku mulai merasa bahwa tanganku terkepal geram. Aku hanya ingin mencintai apa yang harus aku cintai. Mencintai dia yang mencintaiku dan tak acuh terhadap dia yang tidak mencintaiku. Aku menyadari sepenuhnya, bahwa aku semakin jatuh ke dalam apa yang mereka sebut ketidakwarasan padaku. Hingga akhirnya aku terjerat dalam pusaran cintanya. Tidak beranjak, tidak pula dapat berdiri. Cintanya mengikatku secara permanen. Akan kembali aku katakan pada dunia bahwa aku sama sekali tidak peduli dengan mereka yang menertawakanku di sini. Dengannya, aku peduli akan hidupku. Dengannya, aku ingin hidup lebih lama lagi. Dengannya, aku utuh.

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

Tidak ada komentar: